Cari Yang Lain :

01 December 2010

GUGATAN

------------------- SHARE --------------------
-------------------------------------------------


A. Umum
Gugatan dalam hukum perdata terdiri dari Gugatan Permohonan (voluntair) dan Gugatan Kontentiosa. Gugatan permohonan menurut Mahkamah Agung adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Ciri-ciri dari suatu permohonan sebagai berikut:
1.      masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only).
2.      permohonan tidak menyangkut sengketa dengan pihak lain;
3.      tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (ex-parte).
Sedangkan Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung permasalahan dengan orang lain yang mengandung sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties) yang diajukan kepada ketua pengadilan untuk diperiksa dan diputus.
Gugatan Kontentiosa kita temukan dalam,  pertama di Pasal 118 ayat (1), 119 dan 120 HIR dengan menyebut istilah ”Gugatan Perdata dan Gugatan”; kedua di Pasal 1 RV menyebut Gugatan Kontentiosa dengan istilah ”Gugatan” yang berbunyi ”tiap-tiap proses perkara perdata....,dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan....”. Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, Gugatan Kontentiosa adalah adalah tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Mahkamah Agung menyebut Gugatan Kontentiosa dalam putusannya yang berbunyi ”selama proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan dengan persetujuan tergugat”.


B. Tahapan Pemeriksaan



Klik  Gambar untuk memperbesar



C. Syarat-syarat Gugatan
C.1. Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan, dapat dirinci sebagai berikut :
a.   Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
dalam surat gugatan biasanya disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah gugatan dibuat di tempat domicili penggugat atau di tempat kuasanya. Selanjutnya disebutkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal, maka tanggal pada materai yang dianggap benar.
b.   Materai
dalam prakteknya, surat gugatan wajib diberi materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai bukan berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada materai itu kemudian diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau didaftarkannya gugatan itu di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c.   Tanda Tangan
Tanda tangan (handtekening) dalam Surat Gugatan merupakan syarat formil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat permohonan ditandatangani penggugat atau kuasanya. Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat membubuhkan Cap Jempol ─ berupa ibu jari tangan ─ di atas Surat Gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Surat Gugatan yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya dilegalisir di pejabat yang berwenang ─  misalnya Camat, Notaris, Panitera ─, namun bukan hal yang ”Imperatif” mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan menjadi cacat hukum secara formil, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 769 K/Sip/1976 yang berbunyi ”....cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir”;
C. 1. Syarat Materiil
a.   Identitas Para Pihak
dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut :
1). Nama lengkap;
2). Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
3). Pekerjaan;
4). Alamat atau domicili
Dalah hal penggugat atau tergugat adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum itu.
Penyebutan identitas para pihak dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute) keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b.   Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan, muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua, Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971, yang menegaskan bahwa, ”....perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat....”.
Di dalam praktek posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Obyek Perkara
2). Fakta-Fakta Hukum
3). Kualifikasi Perbuatan Tergugat
4). Uraian Kerugian
5). Hubungan Posita Dengan Petitum.
c.   Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya tuntutan ditolak oleh hakim.
Dalam praktek peradilan, petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1). Petitum Primer;
Petitum ini merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta atau dituntut.
2). Petitum Tambahan;
      Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer. Biasanya dapat berupa:
·   Tuntutan agar tergugat membayar biaya perkara;
·   Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
·   Tuntutan provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga muratoir;
·   Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);
3). Petitum Subsider;
Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)





Cara dan teknik pembuatan surat gugatan

A.     Langkah-langkah persiapan
Agar supaya berhasil membuat surat gugatan dengan baik maka diperlukan adanya langkah persiapan. Adapun maksud dan tujuan diperlukan langkah-langkah persiapan tersebut diteliti secara cermat, detail dan terperinci agar supaya surat gugatan sedikit mungkin terjadi adanya jesalahan formal yang dapat berakibat gugatan tidak dapat diterima. Apabila hal ini sampai terjadi, maka akan berakibat perkara akan berlarut larut serta pengeluaran biaya akan semakin banyak.
Pada hakekatnya langkah-langkah persiapan cara dan teknik pembuatan surat gugatan itu meliputi tindakan sebagai berikut :
1.      Teknik mempelajari obyek sengketa.
Penggugat dan kuasanya haruslah benar-benar menguasai bahwa obyek sengketa merupakan pangkal pokok gugatan serta penggugat merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap barang tersebut.
Teknik mempelajari obyek sengketa haruslah memperhatikan factor-faktor sebagai berikut :
·         karena keberhasilan suatu surat gugatan tergantung adanya obyek sengketa, maka diperlukan tindakan secara cermat, teliti dan terperinci dari penggugat atau kuasanya terhadap eksistensi obyek sengketa baik secara formal maupun material dalam surat gugatan. Misalnya apabila obyek sengketa berupa tanah, maka dalam surat gugatan hendaknya dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana cara memperolehnya, hubungan hokum dengan penggugat, luas dan batas-batas tanah tersebut sebagaimana tercantum dalam sertifikat hak milik.
·         Dalam mempelajari teknik obyek sengketa haruslah diperhatikan masalah kompetensi dimana surat gugatan tersebut harus diajukan. Apabila hal ini diabaikan maka berakibat gugatan tidak dapat diterima. Khusus terhadap tanah, maka gugatan diajukan kepada pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak (pasal 142 Rbg).
·         Bahwa dalam mempelajari obyek sengketa hendaknya harus diperhatikan penguasaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, surat edaran mahkamah agung dan peraturan mahkamah agung RI yang berlaku dan diterapkan dalam praktik.
·         Bahwa dalam mempelajari teknik obyek sengketa harus dicermati dengan seksama bahwa penggugat benar-benar sebagai pemilik barang dari obyek sengketa atau merupakan empunya yang berhak atas hak tertentu. Untuk itu perlu dicermati terhadap alat-alat bukti yang dapat berupa bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah

2.      Kelengkapan formal surat gugatan
Setelah tahap teknik mempelajari obyek sengketa, maka berikutnya hendaknya diperhatikan masalah kelengkapanformal dari surat gugatan. Kelengkapan formal ini meliputi subyek gugatan baik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat atau turut tergugat. Pada kelengkapan formal ini hendaknya harus jelas identitas (nama, umur dan alamat) para pihak yang berperkara dan khusus terhadap pihak yang digugat haruslah semuanya di ikutsertakan sebagai tergugat/turut tergugat dalam surat gugatan itu. Hal ini haruslah dicermati secermat mungkin dan diperhatikan secara baik oleh karena apabila kelengkapan formal dari surat gugatan diabaikan, misalnya ada pihak yang seharusnya digugat akan tetapi ternyata dalam surat gugatan mereka tidak digugat maka akan berakibat surat gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. 
3.      Kelengkapan material surat gugatan
Kelengkapan material ini pada asasnya walaupun lebih intens akan dipergunakan pada tahap pembuktian hendaknya harus telah dipersiapkan seawal  dan sedini mungkin, khususnya terhadap alat-alat bukti. Apabila memungkinkan dalam perkara perdata bukti surat merupakan bukti yang cukup menentukan dengan sifat kebenaran formal yang dicari maka hendaknya bukti surat tersebut harus akurat, kuat dan meyakinkan sehingga dapat menjadi bukti sempurna. Selain itu pula hendaknya juga harus didukung oleh alat bukti lain seperti saksi, persangkaan dan bukti lainnya.
Perlu ditekankan guna mendukung materi dan tujuan dari surat gugatan maka penggugat atau kuasanya sedapat mungkin mengajukan permohonan terhadap sita jaminan baik berupa penyitaan barang bergerak dan  barang tidak bergerak milik tergugat.

B.     Fundamentum Petendi / Posita
Pada hakekatnya fundamentum petendi terdiri atas bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa. Dalam praktik peradilan baik pada putusan hakim dan dalam surat gugatan lazim disebut dengan istilah “tentang duduknya perkara” atau “kasus posisi”. Kemudian ada juga bagian yang berisikan penguraian tentang hukumnya yang menjadi dasar yuridis gugatan. Penguraian tentang hukumnya ini tidak perlu dicantumkan ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang menjadi dasar yuridis gugatan oleh karena apabila di sebutkan hak tersebut dalam praktik terkesan “menggurui hakim”. Maka hanya kewajiban para pihak saja menguraikan peristiwa-peristiwa dan penguraian tentang hukumnya sedangkan penerapan pasal-pasal merupakan tugas hakim mempertimbangkan yang dituangkan dalam putusannya.
C.     Petitum
Petitum pada hakekatnya merupakan perumusan secara tegas dan jelas terhadap apa yang menjadi tuntutan penggugat kepada tergugat atau turut tergugat yang akan diputus oleh hakim dalam amar putusannya.
Pada praktik di pengasilan mengenai aneka tuntutan atau petitum dapat diaktegorikan dengan penyebutan tuntutan “primair” dan “subsidair”  atau ada juga dengan formulasi “dalam Provisi” “Dalam Pokok Perkara”.
Dalam surat gugatan maka petitum harus dimintakan secara tegas dan bila tidak demikian maka gugatan menjadi “obscure libel” dan tidak sempurna karena itu gugatan tidak dapat diterima dan untuk itu hakim terikat pada petitum yang diajukan dan tidak boleh melebihi dari apa yang dituntut dan apabila putusan hakim melebihi dari apa yang dituntut maka menurut putusan Mahkamah Agung RI (Nomor:443 k/Sip/1983) putusan demikian pada tingkat kasasi akan dibatalkan.


D.     Bentuk , format dan pengertian surat gugatan
Mengenai bentuk dan format serta pengetikan surat gugatan tidak ada pengaturan yang baku dalam perundang-undangan. Akan tetapi walaupun demikian bukan berarti penggugat atau kuasanya dapat menentukan bentuk, format dan pengetikan surat gugatan dengan seenaknya sendiri tanpa mengindahkan etika dan nilai-nilai keindahan / kebersihan.
Hendaknya format dan bentuk serta pengetikan surat gugatan dibuat serapi, seindah dengan format dan bentuk yang dapat menggugah hati nurani hakim. Maka untuk itu diperlukan dan diusahakan surat gugatan diketik serapi mungkin, bersih dan terang serta bebas dari kesalahan pengetikan atau bersih dari coretan serta sejauh mungkin dihindari adanya tipe-ex. Buatlah opini dan perasaan hakim bahwa penggugat atau kuasannya adalah orang yang benar-benar mendambakan keadilan atau ingin menegakkan hak-haknyasesuai rasa keadilan sehingga dengan demikian surat gugatan tersebut tidak mencerminkan dibuat dengan secara “tergesa-gesa”, “asal-asalan” saja. Hal ini walaupun tidak bersifat teknis yuridis, akan tetapi perlu diperhatikan secara seksama oleh karena hakim juga manusia biasa yang mempunyai etika, perasaan akan nilai-nilai keindahan dan kerapihan serta kebersihan.

1 comment:

-

Related Posts with Thumbnails