Oleh karena hukum di Indonesia menganut pada hukum tertulis yang dikodifikasi, maka hukum menjadi bersifat statis, yakni sulit diubah. (baca tentang kodifikasi hukum.)
Adapun yang berkewajiban melaksanakan kodifikasi hukum adalah hakim, sebab ia merupakan pemberi keputusan di tengah masyarakat. Agar hukum dapat bersifat dinamis dan mempunyai keluwesan, maka dalam memberi putusan hakim harus mempertimbangkan sumber-sumber hukum yang berlaku. Dan pendapat hakim sendiri dalam menafsirkan hukum juga ikut menentukan.
Berikut beberapa macam penafsiran hukum.
1. Penafsiran tata bahasa,
yaitu cara penafsiran yang berdasarkan pada arti kata-kata dalam kalimat-kalimat menurut tata bahasa atau kebiasaan.
2. Penafsiran autentik,
yaitu penafsiran oleh undang-undang, dimana undang-undang sudah mempunyai pengertian tentang suatu kata.
3. Penafsiran historis,
yaitu cara penafsiran yang berdasarkan pada sejarah terjadinya hukum tersebut dan atau maksud pemberntuk undang-undang pada waktu membuat hukum tersebut.
4. Penafsiran sistematis,
yaitu cara penafsiran berdasarkan susunan pasal yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya.
5. Penafsiran nasional,
yaitu cara penafsiran dengan menyelidiki sesuai atau tidak sistem hukum yang berlaku.
6. Penafsiran teleologis,
yaitu cara penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang tersebut,
7. Penafsiran ekstensif,
yaitu cara penafsiran dengan memperluas arti dari suatu kata-kata dalam undang-undang.
8. Penafsiran restriktif,
yaitu cara penafsiran dengan mempersempit arti dari kata-kata dalam suatu undang-undang..
9. Penafsiran analogis,
yaitu cara penafsiran dengan memberi perumpamaan pada kata-kata sesuai dengan azas hukumnya.
10. Penafsiran peringkaran,
yaitu cara penafsiran berdasarkan pada perlawanan pengertian antara permasalahan yang dihadapi dengan permasalahan yang telah diatur dalam undang-undang.
Dengan adanya penafsiran hukum, maka hukum bersifat dinamis yakni mengikuti perkembangan zaman, bergerak, dan mempunyai keluwesan.
No comments:
Post a Comment