Oleh : Rudini T.H Silaban
copas dari : (kompas)
copas dari : (kompas)
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya.
Usaha yang konsisten ini terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.(Bodenheimer, 1974:99).
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut (Friedmann, 1953:113):
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa ini (Allen, 1958:51).
Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu (Allen, 1958:51). Dengan demikian, maka dalil akbar yang disebut sebagai Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim Grundnorm tersebut harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.
Dalam teori Kelsen, sejak mulai dari kelahiran “hipotesi perdana” (initial hypothesis) yang disebut Grundnorm tersebut, maka proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang disebut sebagai proses di sisni adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufentheorie, yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Dias, 1976:503).
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.(Scholten, 1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan keanehan.
No comments:
Post a Comment