Sumber gambar: vivanews |
Suriah
dibawah pimpinan otoriter Bashar Assad,
tidak memiliki musuh nyata selain negara Israel. Permusuhan itu terjadi sejak tahun 1973-an, ketika negara-negara Arab
termasuk Suriah terlibat perang melawan Israel, perang yang mengakibatkan dikuasai
nya daratan tinggi Golan Suriah oleh
Israel itu hanya berakhir dengan
perjanjian gencatan senjata bukan perjanjian perdamaian, sehingga kedua
negara secara de facto sebenarnya
dalam kondisi perang.
Terlepas
permusuhan nya dengan Israel, Suriah adalah negara yang relatif damai, namun kedamaian
itu pudar seiring terjadinya arab spring
yang merambat ke Suriah. Diawali dengan demonstrasi damai, berubah menjadi
pemberontakan bersenjata, yang pada akhirnya menjadi perang saudara.
Kekacaubalauan
yang di Suriah bukan tanpa sebab, perang saudara salah satunya terjadi karena masif
nya distribusi-distribusi isu kebencian yang sengaja disebarluaskan demi kacau
nya pemerintahan. Isu-isu diskriminasi di hiperbola sedemikian rupa tanpa
ampun, sehingga orang hanya diberi pilihan “dipihakku atau lawan aku”.
Celakanya isu-isu diskriminasi itu tidak sedikit yang disajikan dengan manipulasi
alias HOAX atau Fitnah. Mungkin Dari itu kita bisa meresapi siratan pepatah yang
mengatakan “fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan”, di Suriah pepatah itu
benar-benar dirasakan, banyak korban pembunuhan yang terjadi karena fitnah, dan
dari banyak isu yang sering di benturkan dan dipanaskan hingga gosong adalah isu
konflik Suni-Syiah.
Sebelum
gejolak konflik yang mengakibatkan terbunuhnya puluhan ribu orang ini, Suriah
modern adalah negara yang penuh toleransi. Perbedaan, Suni-Syiah, Islam- non Islam yang
telah terjadi sejak Zaman bahu lak
disikapi bijak oleh masyarakat Suriah,
hanya saja kepentingan politik asing yang dikemas sedemikian rupa kemudian di branded
“pemberontakan” agar laku dijual , dan salah satu labél nya adalah “isu Suni-Syiah”,
dengan marketing ala divide et impera, isu itu dihembuskan lebih kencang dengan rasa
kebencian, ditambah lagi bumbu-bumbu hoax nan sedap, sehingga isu semacam itu ditelan menta-mentah oleh orang
awam atau orang-orang pendengki di kedua belah pihak. Dalam konteks ini Negara
Barat dan Amerika sukses menjadi kompor pemotivasi (provokator) pemberontakan,
sementara pihak lain pemerintah Suriah didomplengi oleh rekan seperjuangan nya
dari Rusia dan Iran. Sehingga kini istilah Suriah damai hanyalah cerita masa
lalu.
Pertanyaan klasik nya adalah apakah benar isu Suni-Syiah adalah sebab dari
konflik yang terjadi di Suriah? Jawabnya jelas Tidak, konflik fisik dengan isu
Suni-Syiah itu timbul akibat meletusnya konflik Suriah tapi bukan sebab
konflik.
Permasalahannya
justru dipoint ini, bibit-bibit
kebencian Suni-Syiah di Suriah yang
berakibat saling bunuh-membunuh dengan ribuan korban itu kini mulai di Impor ke Indonesia. beruntungnya kekuatan para pihaknya tidak
berimbang, Suni disini kuat dan mayoritas sementara Syiah tidak dominan,
sehingga konflik tidak gayung bersambut.
Akan tetapi bagaimanapun juga jika isu perpecahan itu selalu dibibit maka kelak
ada masanya akan membesar dan menjadi semakin menguat, dan pada akhirnya isu-isu itu akan memecah belah Indonesia
seperti yang terjadi di Suriah. Apalagi mengingat tidak sedikit orang Indonesia
yang biasa menerima berita tanpa memilih-memilah dengan hanya alasan sesuai
selera tanpa tabayun atau verifikasi.
Akhirul
kata, Semoga kekhawatiran itu hanya lah fatamorgana
disiang bolong, dan tidak akan pernah
terjadi. semoga seluruh masyarakat sadar resiko perpecahan akibat konflik, dan justru menjadi solid karena sadar akan
akibat dari konflik itu, dan semoga pemerintah bisa mengantisipasi untuk mencegah oknum-oknum atau golongan-golongan
tertentu yang ingin mengimpor konflik Suriah ke Indonesia.
Amin.
No comments:
Post a Comment