Cari Yang Lain :

04 October 2013

Tentang Surat Kuasa

------------------- SHARE --------------------
-------------------------------------------------
A. Surat Kuasa Secara Umum
Surat kuasa diatur dalam buku III KUH Perdata, HIR dan RBG sebagai salah satu syarat pengajuan gugatan yang diwakilkan kepada seorang advokat atau penasihat hukum. Dalam KUH Perdata surat kuasa diatur dalam Pasal 1792. Menurut R. Subekti, ”pemberian surat kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.  
Suatu surat kuasa menjadi penting karena mempunyai sifat:
1.      penerima kuasa berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, artinya penerima kuasa mempunyai hak dan kewenangan bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa (full power);
2.      pemberian kuasa bersifat konsensual (consensuale overeenkomst), artinya surat kuasa adalah suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) kedua belah pihak antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Perjanjian tersebut dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik, maupun bawah tangan serta lisan. Perjanjian kuasa menurut Pasal 1793 ayat (2) KUH Perdata dapat juga terjadi secara diam-diam;
3.      pemberian kuasa bersifat garansi-kontrak, artinya pemberian kuasa terbatas pada kewenangan yang diberikan pemberi kuasa sebagaimana digariskan 1806 KUH Perdata.
Suatu surat kuasa berakhir apabila pemberi kuasa mencabut kuasanya (revocation herroepen) secara lisan dan tertulis (Vide Pasal 1813 KUH Perdata). Di samping itu juga surat kuasa dapat dicabut apabila ada kesepakatan kedua belah pihak, karena salah satu sifat surat kuasa sebagai perjanjian antara dua pihak (Vide Pasal 1838 KUH Perdata). Kekuasaan mencabut surat kuasa tidak hanya ada ditangan pemberi kuasa, sebab Pasal 1817 KUH Perdata menegaskan bahwa penerima kuasa dapat melepaskan haknya –bertindak untuk dan atas nama kepentingan pemberi kuasa– dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa.  
Dalam praktik, surat kuasa dapat diperjanjikan secara absolute, artinya pemberian kuasa tidak dapat dicabut salah satu pihak –pemberi dan penerima kuasa– kecuali ada ”Persetujuan Bersama” sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 0731 K/Sip/1975, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan (morals and public order) sebagaimana yang digariskan Pasal 1337 KUH Perdata, sehingga menciptakan kepastian hukum (rule of law).
Pengecualian atas itu adalah terhadap surat kuasa dalam transaksi tanah, di mana pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya, yang tertuang dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982. Larangan tersebut dikeluarkan karena dalam praktik banyak penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan kuasa.    

B. Jenis Surat Kuasa
Jenis kuasa dalam dunia hukum ada empat jenis:
1.      kuasa umum, adalah kuasa yang diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata yang bertujuan mengurus kepentingan pemberi kuasa misalnya pengurusan harta kekayaan;
2.      kuasa khusus, adalah pemberian kuasa yang diberikan dengan kewenangan yang sifatnya khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Kewenangan tersebut untuk bertindak di depan institusi peradilan mewakili kepentingan hukum (law interset)  pemberi kuasa dengan syarat-syarat diatur dalam Pasal 123 HIR;
3.      kuasa istimewa, adalah surat kuasa yang sifatnya khusus dikarenakan ada kepentingan pemberi kuasa yang sangat penting, misalnya peletakkan hipotek atau hak tanggungan kepunyaan pemberi kuasa, membuat perdamaian dan pengucapan sumpah, untuk dilakukan penerima kuasa. Surat kuasa istimewa diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata, Pasal 157 HIR dan Pasal 184 RBG. Pemberian kuasa istimewa harus berbentuk akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yakni Notaris sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 123 HIR;
4.      kuasa perantara, adalah surat kuasa yang lazim disebut kuasa agen yang ditemukan dalam Pasal Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 62 KUH Dagang, di mana pemberi kuasa memberi perintah kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai perwakilan/agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga.       

No comments:

Post a Comment

-

Related Posts with Thumbnails