Cari Yang Lain :

02 January 2017

Saatnya Kita Belajar dari Konflik Suriah

------------------- SHARE --------------------
-------------------------------------------------

Bangunan hancur di Suriah
Sumber gambar: vivanews


Suriah dibawah pimpinan otoriter Bashar Assad, tidak memiliki musuh nyata selain negara Israel.  Permusuhan itu terjadi  sejak tahun 1973-an, ketika negara-negara Arab termasuk Suriah terlibat perang melawan Israel, perang yang mengakibatkan dikuasai nya  daratan tinggi Golan Suriah oleh Israel itu hanya berakhir dengan  perjanjian gencatan senjata bukan perjanjian perdamaian, sehingga kedua negara secara de facto sebenarnya dalam kondisi perang.

Terlepas permusuhan nya dengan Israel, Suriah adalah negara yang relatif damai, namun kedamaian itu pudar seiring terjadinya arab spring yang merambat ke Suriah. Diawali dengan demonstrasi damai, berubah menjadi pemberontakan bersenjata, yang pada akhirnya menjadi perang saudara.

Kekacaubalauan yang di Suriah bukan tanpa sebab, perang saudara salah satunya terjadi karena masif nya distribusi-distribusi isu kebencian yang sengaja disebarluaskan demi kacau nya pemerintahan. Isu-isu diskriminasi di hiperbola sedemikian rupa tanpa ampun, sehingga orang hanya diberi pilihan “dipihakku atau lawan aku”. Celakanya isu-isu diskriminasi itu tidak sedikit yang disajikan dengan manipulasi alias HOAX atau Fitnah. Mungkin Dari itu kita bisa meresapi siratan pepatah yang mengatakan “fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan”, di Suriah pepatah itu benar-benar dirasakan, banyak korban pembunuhan yang terjadi karena fitnah, dan dari banyak isu yang sering di benturkan  dan dipanaskan hingga gosong adalah isu konflik Suni-Syiah.


Sebelum gejolak konflik yang mengakibatkan terbunuhnya puluhan ribu orang ini, Suriah modern adalah negara yang penuh toleransi.  Perbedaan, Suni-Syiah, Islam- non Islam yang  telah terjadi sejak Zaman bahu lak disikapi bijak oleh  masyarakat Suriah, hanya saja kepentingan politik asing yang dikemas sedemikian rupa kemudian di branded  “pemberontakan” agar laku dijual , dan salah satu labél nya adalah “isu Suni-Syiah”,  dengan marketing ala divide et impera,  isu itu dihembuskan lebih kencang dengan rasa kebencian,  ditambah  lagi bumbu-bumbu hoax nan sedap, sehingga isu  semacam itu ditelan menta-mentah oleh orang awam atau orang-orang pendengki di kedua belah pihak. Dalam konteks ini Negara Barat dan Amerika sukses menjadi kompor pemotivasi (provokator) pemberontakan, sementara pihak lain pemerintah Suriah didomplengi oleh rekan seperjuangan nya dari Rusia dan Iran. Sehingga kini istilah Suriah damai hanyalah cerita masa lalu.

 Pertanyaan klasik nya adalah apakah  benar isu Suni-Syiah adalah sebab dari konflik yang terjadi di Suriah? Jawabnya jelas Tidak, konflik fisik dengan isu Suni-Syiah itu timbul akibat meletusnya konflik Suriah tapi bukan sebab konflik.

Permasalahannya  justru dipoint ini, bibit-bibit kebencian Suni-Syiah  di Suriah yang berakibat saling bunuh-membunuh dengan ribuan korban  itu kini mulai di Impor ke Indonesia.  beruntungnya kekuatan para pihaknya tidak berimbang, Suni disini kuat dan mayoritas sementara Syiah tidak dominan, sehingga  konflik tidak gayung bersambut. Akan tetapi bagaimanapun juga jika isu perpecahan itu selalu dibibit maka kelak ada masanya akan membesar dan menjadi semakin menguat, dan pada akhirnya  isu-isu itu akan memecah belah Indonesia seperti yang terjadi di Suriah. Apalagi mengingat tidak sedikit orang Indonesia yang biasa menerima berita tanpa memilih-memilah dengan hanya alasan sesuai selera  tanpa tabayun atau verifikasi.

Akhirul kata, Semoga kekhawatiran itu hanya lah fatamorgana disiang bolong,  dan tidak akan pernah terjadi. semoga seluruh masyarakat sadar resiko perpecahan akibat konflik,  dan justru menjadi solid karena sadar akan akibat dari konflik itu, dan semoga pemerintah bisa mengantisipasi  untuk mencegah oknum-oknum atau golongan-golongan tertentu  yang ingin mengimpor konflik Suriah ke Indonesia. Amin.


No comments:

Post a Comment

-

Related Posts with Thumbnails